#17
"Yeh kemana nih anak, malah di baca
doang." ujar Bagas menatap layar ponselnya
dengan serius. melihat WhatsApp nya
hanya di read oleh Alysa, membuat Bagas berniat menelepon Alysa. Beberapa lama
setelah ia mencoba menelepon Alysa yang tidak kunjung di angkat, akhirnya Alysa
mengangkat telepon dari Bagas.
Bagas : "lo kemana aja woi, gue wa cuma di baca. Lo
hari ini nggak masuk ya?"
Alysa : " iya maaf-maaf, emang ada apa?"
Bagas : " ini kepala sekolah udah ngasih uangnya ke
gue, terus gimana? Dan proposalnya udahkan? Tinggal diprint? Balik sekolah gue kerumah lo ya, kita ke
tempat lomba ngasih uang sama proposalnya. Nggak ada yang di ubah lagi
kan?"
Alysa : "jemput gue di Hospital High aja, gue nggak
ada dirumah. Enggak kok nggak ada yang di ubah"
Bagas : "oh oke-oke"
Bagas mengakhiri pembicaraan, ia bergegas ke
kantin, melewati meja yang biasa Bagas dan ke empat temannya berkumpul. membuat
Erik, Radit dan Stev hanya melihati Bagas lewat tanpa melihat mereka kembali. Sedangkan
Devan mencoba untuk mengacuhkan Bagas. "Sih bagas sekarang jadi asing
gitu ya sama kita” kata Radit. “ya
gitulah yang udah punya temen baru” ucap Erik meneguk minuman kaleng
bersoda. “bukan temen baru, tapi gebetan baru. Akhir-akhir ini dia
sering bareng Alysa. Gue rasa nanti bakal jadian” kata Stev, membuat Devan
melihat segala gerak gerik Bagas yang kini sedang mengantri di salah satu
tukang jajanan dengan wajah datar.
Kemudian Devan mengalihkan
pandangannya ke layar ponselnya, ia mulai mengetik beberapa digit number dan
bergegas pergi menjauh dari teman-temannya, mereka mengerti apa yang Devan akan
lakukan, mereka hanya melihat sekilas langkah Devan kemudian terfokus pada
masing-masing kesibukan.
Devan berjalan
menuju ruang osis dengan telepon berada persis di telinga kanannya, memastikan
seseorang mengangkat telepon dari Devan. Angkat dong elah. Gumam Devan
kesal, ia pun kini memasuki ruang osis yang nampaknya tak ada seorang pun
disana. ia tetap menunggu seseorang mengangkat teleponnya.tapi kini, harapan
Devan pupus. Lagi-lagi tidak ada jawaban dari seseorang. Devan mematikan
panggilan ia nampak kacau, kesal, khawatir membuatnya memukul meja rapat dengan
kepalan tangan kanannya, lalu mengacak acak rambut bergaya Layered Undercut nya.
Tiba-tiba saja seseorang membuka pintu Ruang osis membuat Devan melihat siapa
yang datang, ternyata ia adalah mantan Sekretasis Osis sekaligus pacar Naufal,
Tia.
Entah ada apa
Tia datang ke Ruang osis, Devan pun langsung menahan emosi yang masih menguasai
dirinya lalu menanyakan alasan Tia datang ke Ruang Osis.
“Tia? Ngapain
lo disini?” tanya Devan dengan
tenang mencoba mengontrol emosinya. “tadi pas gue lewat, gue denger ada
suara gitu di sini, yaudah gue coba cek, takutnya ada sesuatu yang jatuh
disini. Mm.. ngomong-ngomong lo sendiri ngapain?” tanya Tia balik. “gue
lagi butuh waktu sendiri ti,mau tenangin pikiran sebentar disini” jawab
Devan sembari tersenyum kecil, membuat Tia hanya mengangguk kecil menandakan bahwa
ia mengerti yang di maksud Devan. dan mengalihkan pandangannya ke struktur Osis
yang baru saja dibuat setelah pelepasan Jabatan.
Menghampiri dan melihat satu nama yang berada
pada Struktur itu. Nama kedua yang terletak di sebelah kiri dengan Jabatan Ketua.
“ngomong-ngomong Kirey cocok ya gantiin posisi lo” kata Tia, membuat Devan
terdiam dan melihat kearah Tia yang kini membelakangi Devan.
“lo tau nggak sih? Gue sempet nggak nyangka lho pas tau Kirey jadian sama lo, gue fikir itu Cuma gossip belaka aja. Tau nya beneran” jelas Tia membalikan badan kearah Devan. Tia menatap lamat Devan yang hanya diam dan bingung, apa yang sebenarnya ingin Tia katakan.
“lo tau nggak sih? Gue sempet nggak nyangka lho pas tau Kirey jadian sama lo, gue fikir itu Cuma gossip belaka aja. Tau nya beneran” jelas Tia membalikan badan kearah Devan. Tia menatap lamat Devan yang hanya diam dan bingung, apa yang sebenarnya ingin Tia katakan.
Melihat Devan
hanya terdiam dan seperti kebingungan, Tia melanjutkan perkataannya yang
ternyata belum ia selesaikan. “nggak nyangka lo bakal nerima bocah kaya dia.
sih anak manja” ungkap Tia terdengar kejam di telinga Devan, membuat Devan
menatap Tia serius sembari mengerutkan dahimya. “yaudah deh ya van, gue
cabut aja.” Kata Tia yang Nampak sinis dengan Devan, meninggalkan Devan di
ruang osis.
Seletah itu,
Devan mengacuhkan perkataan Tia. Ia bergegas kembali ke kelasnya untuk
mengikuti pelajaran berikutnya. Sebelum itu, ia menuju ke sebuah loker yang
terletak persis di depan Ruang kelasnya untuk mengambil beberapa buku yang akan
di pelajarinya nanti. Loker kedua dari sebelah kiri nya. Setelah selesai
mengambil beberapa buku ia mengunci kembali lokernya dan badannya mulai
bersender pada loker yang menutupi beberapa loker disertai kepalanya yang kini
ikut bersender. Devan nampak lelah. sesekali ia menghelai nafas dan memejamkan
kedua matanya, saat ia mulai merasa nyaman dengan posisinya, suara tawa gadis
dari sebelah timur membuat Devan membuka matanya, suara lembut seperti anak
kecil membuat Devan mengingat tawa tersebut. Ya, tentu ia mengenali tawa khas
tersebut.
Tak salah lagi,
tawa itu milik gadisnya yaitu Kirey. Kini bola mata Devan melihat kearah suara
tawa itu makin menjadi, bersama dengan laki-laki lain di depan kelas XII Bahasa
1. Terlihat begitu nyaman dan sangat akrab. Membuat Devan mengerutkan dahinya
penuh dengan tanya. Berniat menghampiri mereka berdua namun bel masuk pun
berbunyi, dari Kejauhan Kirey berpamitan dengan laki-laki yang bersamanya tadi,
sangat manja. Khas cewek keturunan jepang.
#18
Sepulang
sekolah, dengan seperti biasa. Kirey selalu menunggu Devan. Tapi kali ini ia
menunggu di parkiran, sehingga saat Devan keluar dari kelasnya ia sempat
mencari gadis jepang itu dan itu artinya Devan terbebas darinya. Lalu
mengacuhkan ketidak beradaannya dan dengan santai Devan menuju keparkiran.
“HAIIII
KA DEV!!” suara imut Kirey membuat Devan sangat terkejut.
Langsung lah Kirey merangkul tangan Devan tanpa berfikir panjang. Membuat Devan
hanya tersenyum malas dan menghelai nafas, sesekali tercium wangi strawberry
ciri khas Kirey. “yuk
ka, kita pulang” tarik
Kirey.
Setelah
sampai di mobil Devan. Devan langsung menghidupkan mesin mobilnya dan melaju
dengan kecepatan 90/km, sejak di perjalanan, Mereka sempat diam-diaman. Entah
sejak kapan suasana jadi tegang seperti ini. Lalu Devan memutuskan berhenti
disebuah jalan yang lumayan sepi. Pasalnya, ia ingin membicarakan mengenai
Kirey dengan laki-laki yang ia liat tadi. bahkan sejak perjalanan, Kirey
membuang muka menghadap ke kaca persis kearah jalan.
“Kirey, ada yang pengen Ka Dev omomngin sama kamu” ucap Devan menatap Kirey.
“mau ngomongin apa ka?” jawab Kirey dengan tersenyum manis disertai lips gloss merah jambu yang nampak lembab dibibir tipisnya membuat siapa pun laki-laki yang melihatnya merasa terganggu olehnya, termasuk Devan, saat melihat senyum Kirey dengan Lips gloss merah jambu, pikirannya sempat kacau apalagi disertai dengan wangi strawberry yang sangat menggoda.
“Kirey, ada yang pengen Ka Dev omomngin sama kamu” ucap Devan menatap Kirey.
“mau ngomongin apa ka?” jawab Kirey dengan tersenyum manis disertai lips gloss merah jambu yang nampak lembab dibibir tipisnya membuat siapa pun laki-laki yang melihatnya merasa terganggu olehnya, termasuk Devan, saat melihat senyum Kirey dengan Lips gloss merah jambu, pikirannya sempat kacau apalagi disertai dengan wangi strawberry yang sangat menggoda.
Namun
Devan menahan diri untuk terfokus pada apa yang ingin ia bicarakannya. “emm..
kamu, sejak kapan pake lips gloss?” tanya
Devan memastikan sesuatu, pasalnya ini kali pertama Devan melihat Kirey memakai
hiasan pada bibir tipisnya. Kirey adalah gadis polos dengan kecantikan
naturalnya. Tapi kali ini berbeda dari sebelumnya. “sejak ka Dev jadi pacar aku, aku sengaja
pake lips gloss, aku pengen keliatan dewasa dan cantik buat ka Dev” ucap
Kirey, “kamu
nggak perlu ngelakuin itu buat ka Dev,karena ka Dev suka cewek natural.”
Perjelas Devan seketika mengingat Alysa. Kirey meraih tangan Devan,
memegang erat, membuat Devan melihat kearah Kirey lamat-lamat “aku
ngelakuin ini khusus buat ka Dev, aku sayang banget sama ka Dev, aku rela
ngelakuin apa aja buat ka Dev. Dan hari ini aku make lips gloss khusus buat ka
Dev” ucap Kirey, membuat Devan menaiki alis kanannya
“ma..maksudnya?” , tanpa
berfikir panjang Kirey memejamkan matanya mendekati kepala serta bibirnya
dengan Devan, Devan sangat bingung apa yang harus dilakukannya, ia terjebak.
Tidak bisa berkutik. Gadis ini benar-benar
berhasil membuat Devan diam dan menuruti kemauan Kirey, Sejenak Devan
membayangkan bahwa gadis dihadapannya adalah Alysa. Devan mulai ikut memejamkan
matanya kini bibir Devan dan Kirey saling bertemu, berpaut dalam gairah.
Membuat lips gloss Kirey menjadi berantakan dan memudar.
disertai
wangi kirey yang membuat Devan semakin tergoda, Namun wajah Alysa tiba-tiba
memudar dalam pejaman mata Devan dan berganti dengan wajah polos Kirey,
membuatnya menghentikan ciuman itu dengan tingkah Devan yang khilaf. “mm..
oke, sekarang ka Dev anter pulang ya” ucap Devan dengan nada salah tingkah,
ia Mengurungkan niatnya untuk membicarakan laki-laki tersebut.
Sedangkan
Kirey tersenyum senang. setelah mereka saling terdiam karena kejadian yang
tidak diduga, akhirnya sampailah mereka dirumah Kirey. namun Devan hanya bisa
mengantar dari pagar rumah Kirey, mereka saling berpamitan.“bye
Kirey” ucap
Devan.“dahh..
ka Dev”saat Devan membuka
pintu mobil dan Kirey beranjak membuka pagar, Kirey berbalik badan.“Ka
Dev..”
“iyaa
rey?”“hmm..
cara ciuman kaka dewasa banget, aku suka hehehe” ucap
Kirey dengan malu-malu membuat pipinya memerah.
Devan
hanya menaikkan alis kanannya dan tersenyum kecil. Kirey langsung bergegas
masuk kedalam rumah saat berbicara hal seperti itu kepada Devan. sedangkan
Devan memasuki mobilnya namun tidak menghidupkan mesin mobilnya, melainkan
memikirkan sesuatu. Payah. Kenapa gue
bisa kepikiran Alysa sih. Terus pas gue ciuman sama Kirey gue malah ngebayangin
kalo itu Alysa. Benak Devan sembari mengigit bibir bawahnya.
tidak
lama Devan melihat mobil sedan berwarna hitam dengan plat yang ia kenal,
melintas berlawanan arah, membuat Devan melihatnya dengan lebih tegas. “itu..
itu mobilnya Bagas kan? Loh, dia mau kemana? Coba ahh, gue ikutin” dengan
cepat Devan menghidupkan mesin mobilnya, memutar arah dan mulai mengikuti mobil
sedan berwarna hitam yang kini melaju di depan mobilnya dengan menjaga jarak
agar tidak ketahuan jika Devan mengikutinya dari belakang.
Setelah
lumayan jauh dan luyaman lama , akhirnya sampailah mereka disebuah gedung
olahraga bergaya kuno dengan cat berwarna pastel yang nampak tua dan dibeberapa
bagian cat itu terlupas seiring umur gedung tersebut. “ngapain
Bagas kesini?” ucapnya
sembari menunggu Bagas keluar dari mobilnya. Setelah beberapa detik menunggu,
akhirnya Bagas keluar dari mobilnya di ikuti dengan pintu sebelah pengemudi
yang ikut terbuka. menampak kan gadis berseragam sama dengan badan atletis
serta rambut di kuncir satu, membuat Devan menegaskan padangannya.
ternyata itu adalah Alysa.
ternyata itu adalah Alysa.
#19
“Alysa? Alysa sama Bagas?” ucap
Devan, sejenak ia memikirkan sesuatu. dia
bolos sekolah dan sekarang sama bagas, terus dia nggak angkat telepon gue. Dia
udah janjian sama Bagas mau ketemuan.dia ngabarin Bagas, bukan gue? . benak
Devan, kini Devan keluar dari mobilnya mengikuti langkah Bagas dan Alysa yang
memasuki gedung tua dengan tetap menjaga jarak. Kini mereka bertemu dengan
seorang pria yang berumuran sekitar 50-an dengan rambut yang agak kecoklatan
serta badan tegap menyerupai atletis dan otot lengannya Nampak terlihat sangat
jelas, mengenakan kaos berwarna biru tua dan celana training serta mengalungi
pulpen dan tangan kirinya mengenggam erat papan nilai berukuran sedang kini
berjabatan dengan Bagas lalu di ikuti dengan Alysa.
“sore scout” ucap
Bagas, “sore scout” diikutin Alysa. “Hei.. Bagas,Alysa.. sore” jawab pria yang
dipanggil scout, “wah ada apa nih kalian
kesini? Tumben, kita kan latihannya setiap rabu dan minggu” lanjutnya. “heheh ini scout, mau nyampein proposal sama
uang buat lomba, kepala sekolah udah setuju” ucap Alysa sembari membuka
sleting tasnya dan mengambil proposal serta amplop berwarna coklat. “wah serius nih? Syukurlah, uangnya scout
terima ya. Dan Bagas, kamu gimana?” ucapan scout membuat Bagas hanya tersenyum
sedangkan Alysa melihat kearah Bagas dengan penuh harapan.
“maaf scout, sepertinya keputusan saya
udah bulet. Sekali lagi saya minta maaf, karena mengecewakan scout dan team” jawab
Bagas yang masih saja tersenyum dan seketika ia menunduk. Scout menghela nafas,
“oke, gpp. Tapi scout yakin, keputusan
kamu itu pasti berubah dan scout akan selalu terima kamu kalo nanti kamu
berubah pikiran. Sekarang scout mau ngelatih anak basket dulu ya” ucap
scout berpamitan pada Alysa dan Bagas, meninggalkan mereka berdua. oh jadi itu pelatih mereka berdua, masalah
lomba. tapi kenapa Bagas nggak ikut lomba? Bukannya dia pengen banget lomba itu
ya. Benak Devan. Kemudian ia meninggalkan gedung tua itu.
Alysa
masih menatap Bagas, sehingga membuat Bagas tersadar bahwa sedaritadi pandangan
Alysa belum beralih darinya. “mau sampe
kapan lo liatin gue kaya gitu” ucap Bagas sembari tersenyum tanpa melihat
Alysa balik. “sampe kapan lo bohong sama
diri lo?” tanya Alysa balik membuat tangannya terlipat didepan dadanya,
memposisikan badannya kearah Bagas, dan mendongakkan sedikit kepalanya karena
tinggi mereka tidak sama 3cm lebih tinggi.
Memaksa
Bagas menatap kearah Alysa. “siapa yang
lagi bohong?” ucap Bagas. Kini membuat sepasang bola mata saling bertemu.
Mengubah posisi tangan Alysa yang kini tangannya tolak pinggang. “secara nggak sadar dan secara nggak
langsung, lo itu udah boongin diri lo gas. Gue tau kok, pasti lo pengen banget
ikut lomba itu kan? Ayolah gas ikut aja. Apa sih yang ngebuat lo jadi kaya
gini?” kata Alysa yang ingin meyakinkan Bagas namun sepertinya tidak
seperti yang diharapkan. Bagas hanya tersenyum dan pergi entah kemana meninggalkan
Alysa yang masih berdiri di lapangan indoor.
“Yehh
Bagas.. mau kemana? Lo belom jawab pertanyaan gue. Ihh tuh anak ditanya malah
senyum doang.” Katanya
yang kemudian diam sejenak, ia beranjak dari tempat dimana ia kini berdiri,
menghampiri beberapa bingkai foto yang memuat beberapa moment antara scout
dengan para bimbingannya, ada moment saat mereka bukan apa-apa hingga saat
mereka berhasil menjadi seseorang yang patut dicontoh.
di sana
juga terpampang lemari kaca yang sangat besar, memuat beberapa penghargaan dari
tingkat wilayah hingga internasional. kini matanya tertuju dengan satu penghargaan
. Penghargaan Basket Internasional, yang diadakan di Amerika pada saat akhir
pekan tahun lalu. Alysa sangat bermimpi agar ia bisa seperti mereka, bisa menjadi team yang hebat. Tanpa Bagas,
team volley bukanlah apa-apa, pasalnya Bagas bukan hanya seorang anak umur 5
tahun yang sekedar melempar-lemparkan bola sesuka hatinya. Bagas punya potensi
yang bagus, kemampuan Bagas lebih dari yang ia bayangkan bahkan scout mereka
pun tidak sungkan-sungkan memuji kemampuan yang Bagas miliki, bisa dilihat
bahwa Bagas mempunyai jiwa seorang pemenang yang mungkin Bagas belum bisa lihat itu dari
dirinya sendiri. Niat Alysa untuk meyakinkan itu semakin besar.
belum
beralih pandangannya dari penghargaan-penghargaan itu, tanpa ia sadar tangan
kanannya mengepal sedangkan tangan kirinya sebagai wadah untuk pukulan kecil
yang akan dilakukannya, sehingga seseorang menepuk bahu kanannya lantas membuat
ia menoleh kearah tangan yang menepuk bahunya. “eh scout..” ucap Alysa dengan senyum manis, “kamu kok belum pulang?” tanya scout, menoleh kanan kiri, mencari
seseorang “Bagas mana?” lanjutnya. Diikuti Alysa yang menoleh ke arah kanan kirinya,
memastikan.
“mm.. tadi sih kayanya dia udah kedepan
duluan deh, scout” jawab gadis berkuncir satu. Membuat anggukan
kecil pada pria yang disebut scout menandakan ia mengerti sesuatu hal. “kamu tau kenapa Bagas tidak bisa ikut lomba
itu? Bukannya ia tau bahwa sertifikatnya sangat bermanfaat untuk dia. Sertifikat
itu bisa membantu kalian melanjutkan studi di University Hardvard Amerika” perjelas
pria berusia 50-an itu, “saya juga nggak
tau scout, setahu saya Bagas selalu menginginkan perlombaan, apalagi jika
menyangkut beasiswa ke luar negri. Tapi, kini dia berubah pikiran dengan cepat
scout” ucap Alysa dengan menundukkan
kepalanya, menyesal karena tidak berhasil meyakinkan temannya.
“Scout
yakin, Bagas ingin sekali ikut lomba itu. Tapi sepertinya ada sesuatu hal yang
membuatnya mengurungkan keinginannya itu, makanya Scout bilang ke dia, akan
menerima dia jika dia berubah pikiran tiba-tiba. Scout selalu membuka pintu
untuk kalian yang ingin bersungguh-sungguh. Tapi, Scout tidak bisa membantu
terlalu jauh untuk masalah pribadi kalian. Jadi, Scout harap kamu sebagai teman
satu sekolah dan satu team, mampu meyakinkan dia, mampu membuat impiannya
terwujud.” Perjelas Scout dengan merangkul Alysa seperti seorang ayah yang
sedang memberi nasehat ke anaknya, gadis berkuncir satu itu hanya mengangguk paham,
ucapan Scoutnya membuat keyakinannya bangkit lagi. “baik scout, saya mengerti. Saya pamit dulu ya scout” ucapnya
tegas.
Tidak
terasa percakapannya dengan Scout membuat langit sudah berwarna jingga disertai
angin sejuk dan terbenamnya matahari, menggantikan rembulan dan taburan bintang
yang menjadi hiasan langit. Langkah Alysa kini diiringi bunyi sepatu sekolah
nya yang berketuk pada lantai dengan keramik putih melewati ruang aula tanpa
penghuni, Kayanya gue tadi terlalu lama
di dalem, pasti Bagas udah pulang
duluan deh. Gumamnya, sembari melihat ke arloji nya. Sesampainya di pintu
depan Alysa mulai mengetik beberapa angka yang ia hafal lalu meletakkan
ponselnya persis di telinga kanannya. “Nelpon
siapa sa?” suara anak laki-laki yang kini berdiri tegak dengan tangan
kanannya dimasukan ke kantung celana sekolah persis berdiri di belakang Alysa.
Membuat Alysa sontak menoleh ke belakang dan
membiarkan ponselnya memanggil beberapa angka yang sudah di ketiknya tadi. “Bagas?” ucapnya kemudian mengakhiri
panggilan yang belum terjawab, Bagas melangkah mendekati Alysa.
“ya ampun gas, gue pikir tuh lo udah balik
duluan tau. Makanya gue nelpon satpam rumah buat jemput gue.” Ucap
Alysa lega karena Bagas masih berada di gedung tua itu. “mana mungkin gue ninggalin cewek sendirian malem-malem disini. Lagian
lo abis ngapain aja sih? Betah amat kayanya di sini” katanya dengan
pandangan melihat sekeliling gedung tua tempat kini mereka berada.”tadi abis liat-liat dulu gas di dalem” jawabnya
singkat. “ya udah yuk cabut.” Ucap Bagas yang mulai melangkah keluar gerbang
diikuti dengan langkah Alysa di belakangnya.
#20
Selama
di perjalanan, mereka saling diam diiringi musik yang di putar lewat radio
mobil Bagas. seperti biasa, Bagas tidak menyukai suasana yang menegangkan dan
sunyi. Kini waktu menunjukan pukul 19:20 wib. Mereka masih berada dalam
perjalanan pulang. Memang jauh letak antara rumah mereka dengan Gedung Olahraga
itu.
Memerlukan
waktu 2-3 jam perjalanan. Hingga seketika Bagas berhenti di sebuah pinggir
jalan yang terdapat beberapa pedagang kaki lima yang lumayan ramai dengan
pengunjung, sebagian pengunjung adalah pengendara yang beristirahat sejenak. “loh gas, kok kita berhenti disini?” tanya Alysa bingung. sedangkan Bagas
sudah melepaskan sabuk pengamat dan membuka pintu mobilnya, diikuti oleh Alysa
dengan masih bingung. Alysa berdiri persis di samping pintu mobil tempat ia
duduk, melihat langkah Bagas yang mulai membaur dengan pengunjung dan beberapa
pedagang kaki lima tanpa memperdulikan Alysa.
Alysa hanya mengehelai nafas dan berbalik
badan bersender pada pintu mobil dan melihat indahnya jutaan bintang di langit.
ia tidak marah pada Bagas, pasalnya ia tau persis bagaimana sikap Bagas yang
kadang sulit untuk di jelaskan dengan kata-kata namun dapat dimengerti dengan
hanya melihatnya.
Beberapa
lama Alysa menunggu, kini membuatnya mengantuk, baru saja ia memejamkan
matanya. Suara Bagas mengacaukannya, “woy,
sorry lama” katanya sembari membawa 2 jagung bakar dan 2 teh pocci di taruh
dalam plastik. “nih buat lo satu, buat
gue satu, minumnya biar gue yang pegang” ucap Bagas memberikan satu jagung
bakar yang ia pegang dan ikut bersender pada mobil. “thanks yaa.” Ucap Alysa yang menatap jagung bakarnya sembari
tersenyum kecil sedangkan Bagas sedang meniup jagung bakarnya yang masih panas
dan sesekali mencoba memakannya. Karena sadar jagung yang di pegang Alysa belum
di makan. Bagas menatap bingung Alysa. “kalo
nggak mau mending buat gue deh.” Ledeknya, tapi tidak menghasilkan ekspresi
yang ia inginkan dari gadis di sebalahnya. Wajah Alysa masih datar menatap
jagung bakarnya.
“woy!! Lo kenapa sa?” tanya Bagas yang berhenti meniup jagung
bakarnya yang masih panas.”elo yang
kenapa gas. kenapa lo sok-sok
bahagia, sok-sok nggak ada apa-apa, sok-sok semuanya baik-baik aja. Sampe-sampe
lo harus ngurungin niat lo buat ikut lomba itu.” Seketika emosi Alysa memuncak. Membuat
ekspresi Bagas benar-benar datar, tiba-tiba memalingkan pandangannya, Marah?
Bisa di bilang seperti itu, tapi Alysa tetap tidak peduli. “lo tau kan, sertifikatnya itu berharga banget gas. dengan itu lo bisa
dapet beasiswa ke luar negri, jadi pemain volley terkenal. Dan kedua orang tua
lo makin sayang dan bangga atas apa yang lo lakuin. Dan … semuanya nggak akan
sia-sia gas.” lanjutnya, tanpa memperdulikan ekspresi Bagas yang kini sama
sekali tidak ingin melihat Alysa. membuat keheningan seketika, membuat Alysa
juga memalingkan pandangannya.
Hingga akhirnya Bagas angkat bicara, “apa yang lo tau tentang kebahagiaan? Apa
yang lo tau tentang kasih sayang kedua orang tua? Sedangkan lo sendiri kurang
kasih sayang dari kedua orang tua lo, lo selalu kesepian, hampa, sunyi. Karena
apa? Karena ke egoisan mereka. Lebih
mementingkan pekerjaan mereka ketimbang anaknya sendiri. Lebih mementingkan
kebahagiaan mereka ketimbang kebahagiaan bersama anaknya. Di dunia ini, nggak
ada yang namanya kebahagiaan. Semuanya itu bullshit. Apa gunanya gue ikut lomba
itu? Nggak akan ngerubah apa pun. Mereka akan tetep pisah. Nggak akan kaya dulu
lagi. Nggak akan ada canda tawa lagi. Semua bakal jadi asing.” Jelas Bagas,
membuat Alysa terdiam, kini matanya berkaca-kaca. Sadar atau tidak sadar
perkataan Bagas menyakiti hati Alysa,tetapi ia tetap menahan rasa yang tidak
enak pada hatinya.
“kebahagian itu emang nggak abadi gas,
begitu juga dengan kesepian, kesengsaraan, kesunyian, kehampahan atau
kesedihan. Semua ada porsi nya gas. jika lo sempet ngerasa bahagia maka lo
bakal ngerasa kesedihan juga. Dan begitu sebaliknya. Dengan porsi yang sama
rata. Kalo lo ngerasa belum bahagia, tunggu gas. tunggu sampe waktunya tiba.
Mungkin kebahagiaan lo bukan yang sekarang. Dengan lo ikut lomba itu
seenggaknya kedua orang tua lo seneng ngeliat anak yang mereka besarin bersama
punya bakat yang luar biasa. Sehingga mereka merasa bangga dan nggak ada yang
merasa sia-sia.” Jawab Alysa yang masih menahan sesuatu di
kantung matanya dan berusaha tersenyum. Membuat Bagas sepertinya merasa lebih
baikkan dari sebelumnya. Kini ia bisa lebih tenang. “oke, mending kita pulang sekarang” ucap Bagas yang membuang sisa
jagung bakarnya dan membawa plastik berisi teh pocci yang sama sekali belum di
sentuh, memasuki mobil di ikuti oleh Alysa yang masih memegang jagung bakarnya
yang masih utuh, sesekali tanpa Bagas tau ia mengusap kedua matanya walau air
matanya belum sepenuhnya jatuh.
Terimakasih sudah berkunjung^^
Selamat Membaca! Silakan berpendapat Jika ada yang tidak benar :)

Post a Comment
Post a Comment