#21
Perkataan
Bagas semalam masih menghantui pikiran gadis yang selalu di kuncir satu dengan
wangi vanilla khas Alysa Avriel, membuat ia kurang berkonsentrasi pada apa yang
ada di hadapannya. Dengan memakai seragam batik merah maroon garis bagian leher
dan lengan pendek berwarna putih dan rok berenda putih seatas lutut dengan kaos
kaki sebetis di sertai sepatu kets berwarna hitam legam bergaris putih di
sampingnya. Melangkah ke arah perpustakaan di saat jam kosong, ada hal yang
ingin ia baca.
Sekalian mencari novel baru yang ada di
perpustakaan sekolah. Saat sedang asik mencari, pandangan Alysa meleset pada sepasang
gadis dan laki-laki di pojok paling kanan yang jarang tertangkap oleh pasang
mata. Alysa melangkahkan kakinya dengan sangat berhati-hati memastikan siapa
gadis dan anak laki-laki itu. Dilihat dari posisi Alysa berada postur badan
gadis itu tidak terlalu tinggi, hanya sebahu kurang dari anak laki-laki yang
bersamanya, dengan kulit putih dan postur badan yang ideal, rambut hitam
sebahu. Sedangkan anak laki-laki itu, nampaknya Alysa mengenalnya.
Ia
seangkatan dengan dirinya, tapi entah dari jurusan apa. Semakin penasaran
dengan wajah gadis yang membelakangi dirinya kini mereka berdua berpaut mesra
dalam ciuman yang tiba-tiba saja di lakukan. Membuat kedua mata Alysa membesar
lalu mengerutkan dahinya. Dasarr anak
jaman, Tempat kaya gini di buat mesum. Gumam Alysa dengan sinis menggelengkan
kepalanya bermaksud meninggalkan kedua orang yang sedang asyik, namun ciuman
itu berakhir dengan cepat dan gadis itu pun Nampak gelisah saat ponselnya
berdering.
Kini
Alysa bisa melihat wajah dari gadis berambut sebahu itu. tanpa di percaya, ia
adalah Kirey. Ketua Osis sekaligus pacar Devan. pacar Devan bersama laki-laki
lain. dalam arti lain “Selingkuh” . tetap tidak percaya dengan apa yang ia lihat, Alysa
mengusap kedua matanya meski tidak terasa gatal berkali-kali. “ituu..
ituu Kirey? Pacarnya Devan kan?” ucapnya.
Memastikan kembali. Kini ia mendengar percakapan antara Kirey dengan laki-laki
yang pasti bukan Devan.
“kaya
nya aku harus balik ke kelas deh, sih pak tua moris masuk kelas lagi” ucap
Kirey yang tak seperti Kirey polos. “iya udah, nanti istirahat kita ketemu lagi
ya, sayang” balas laki-laki yang berusia sama seperti
Alysa. Kirey pun melangkah keluar perpustakaan dan beberapa menit kemudian di
ikuti oleh laki-laki yang bersamanya. Kini Alysa pun juga ikut keluar
perpustakaan menuju ke lapangan outdoor yang melewati Ruang Osis.
Apa hubungannya Kirey dengan laki-laki
itu, kok manggil sayang, terus ciuman lagi. bukannya Kirey pacaran sama Devan,
apa udah putus ya. Eh ngapain gue pikirin ya. Gumam
Alysa, sesaat berhenti di depan Ruang Osis. Berniat membuka pintu, memasuki
ruangan itu dan bertemu Devan jika ia ada di dalam. tapi ia mengurungkan
niatnya lalu melanjutkan langkahnya untuk ke lapangan outdoor. Di sana ada
kelas yang sedang olahraga, nampaknya itu kelas XI MIA dan kelas X Bahasa.
Alysa duduk di bangku menghadap lapangan sehingga ia bisa melihat murid lain
berolahraga. cuaca yang tidak terlalu panas serta hembusan angin sejuk
menyelimuti dirinya. Tenang. Sunyi. Dan nyaman.
Tapi
mengapa sebagian orang tidak menyukai ketenangan dan kesunyian yang begitu
membuatnya merasa damai tanpa memikirkan hal yang memusingkan. Memejamkan kedua
matanya mencoba bersahabat dengan hembusan angin hingga merasa dirinya ringan
lalu mengikuti arah hembusan angin, kemana saja, terbang tinggi, dan-- pluuuukkkk!!
“aww!!” sebuah
botol mineral tanpa isi mendarat tepat di kepala Alysa, membuatnya sontak
berdiri lalu mencari asal botol itu dan siapa orang yang melemparinya. Dengan
geram, kini ia menemukan wajah yang tidak asing lagi. Wajah yang membuat Alysa
kesal saat melihatnya. ia adalah Devan mantan ketua Osis. dari jarak yang tidak
terlalu jauh, Devan berdiri dengan kedua tangan di masukkan ke dalam saku
celananya. “heh..
maksud lo apaan sih ngelemparin botol mineral ke gue. Otak lo di taro di mana.
Sakit tau.” Ucap Alysa mengusap-usap kepala yang terkena
lemparan botol mineral cukup kencang.
Devan terdiam, melihat Arloji di tangan
kirinya “ini masih jam pelajaran. Kenapa lo
udah keluyuran di luar? Sekarang cepet masuk ke kelas lo.” Perintahnya. “di kelas gue nggak ada guru. Tugas udah gue
kerjain.” Jawabnya singkat. “bukan berarti lo bisa keluyuran di
luarkan?” ucap Devan menghampiri Alysa, “cepet.
Sekarang masuk ke kelas lo.” Perintahnya bak seorang bos.
“Kalo gue nggak mau gimana?” tantang
gadis berkuncir satu sembari membusungkan dada dengan kedua tangan tolak
pinggang. Membuat Devan menunjukan senyum miringnya lalu mendekati Alysa dengan
perlahan, membuat Alysa bergerak mundur hingga akhirnya tersender pada tembok.
Lalu, tangan kiri Devan menyentuh tembok, Kini pandangan Devan terfokus pada
kedua bola mata yang berwarna kecoklatan milik gadis berkuncir satu. Semakin
dekat. Makin dekat. Hingga membuat Alysa membesarkan kedua matanya di sertai
ritme jantungnya tidak beraturan. Mereka saling menatap. “lo bakal kena sanksi. Ngerti!” jawabnya kemudian memposisikan
dirinya seperti semula, lalu beranjak untuk pergi meninggalkan Alysa, membuat
Alysa menatap tiap langkah Devan dalam diamnya hingga kini langkahnya tidak
terlihat lagi.
Seiring
pudarnya langkah Devan, kedua tangan Alysa memegang dadanya, memastikan ritme
jantungnya yang kini masih berdetak kencang, kenapa dengan gue? Kenapa gue deg-degan gini. Benaknya tak percaya.
Sebaliknya dengan Devan, dengan sadar ia menahan getaran pada tubuhnya. Hingga
saat tidak terlihat oleh siapa pun. Devan menghentikan langkahnya, dengan cepat
ia memastikan detak jantungnya, kenapa gue jadi deg-degan gini, aneh. Benak
Devan bingung. Lalu ia melanjutkan langkahnya lagi untuk bergegas kembali ke
kelas.
#22
Siang
hari yang sangat cerah, tepat saat bel istirahat berbunyi. Alysa terlebih
dahulu berada di kantin, sejak tadi ia hanya mengelilingi gedung sekolah
mengisi kebosanannya di dalam kelas, karena di kelasnya 3 jam pelajaran kosong,
sedangkan ia sudah selesai dengan tugas yang di berikan oleh guru yang
bersangkutan.
Seperti
biasa, Alysa belum memesan meski kini kantin sudah di penuhi dengan murid Star
High yang kelaparan. Ia menunggu sahabatnya, bahkan menunggu Bagas. Ia tidak
akan menyerah meyakinkan Bagas untuk tetap ikut lomba Volly. Sesekali memainkan
ponsel lalu menoleh kanan kirinya, tapi kedua orang yang kini Alysa tunggu
belum kelihatan sama sekali, mengharuskan ia mengigit bibir bawahnya yang tipis
di sertai balutan lips gloss rasa strawberry yang samar dengan bibir aslinya yang memang sudah kemerahan. Alysa
melihat Devan dan teman-temannya, namun tidak ada Bagas di sana bahkan Kirey
pun tidak bersama Devan. karena ia sangat perlu dengan Bagas, Alysa menghampiri
Devan dan teman-temannya ke meja bundar biasa tempat mereka duduki.
“Devan” sapa
Alysa, “iya” jawabnya
singkat. Kini perhatian teman-temannya tertuju pada kehadiran Alysa. “eh
Alysa, tumben nyariin Devan” ledek
Erik di ikuti Steve dan Radit yang senyum iseng, membuat Alysa menarik nafas
agar emosinya bisa tetap di jaga. “Bagas mana?” tanpa
basa basi ia langsung ke intinya. sehingga membuat wajah Devan sangat datar dan
mengalihkan pandangannya. Bahkan Erik,Steve, dan Radit pun menjadi diam.
Membuat Alysa memandang mereka satu per satu dengan penuh tanya. “Bagas
mana, van?” tanyanya
sekali lagi. “elo ke gue Cuma buat nyari Bagas? Lo pikir
gue emak nya dia.” Ketus
Devan.
Alysa menggeleng kecil di sertai kerutan pada
dahinya, “ya
biasanya kan dia bareng lo” jawab
Alysa, suasana menjadi hening seketika. “guys gue pesen dulu” ucap Devan mengabaikan perkataan Alysa,
berdiri dari duduknya dan berusaha melangkah ke tukang jajanan, namun Alysa
menahan Devan. menarik lengan kiri Devan. “Devan lo belom jawab pertanyaan gue” kata
Alysa yang mulai kesal, membuat Devan kesal “gue bukan siapa-siapa Bagas, jadi berhenti
nanya tentang Bagas ke gue, oke.” Ketus
Devan yang cukup kencang membuat perhatian satu kantin tertuju ke mereka. “tapi
elo kan temennya, nggak mungkin lo nggak tau dia di mana” jawab
Alysa yang tidak peduli dengan perhatian sekitar.
“iya,tapi
itu dulu. Bukan sekarang.” Jelas
Devan, kini Alysa benar-benar tidak mengerti Devan “lo musuhan sama dia? Karena apa?” tanyanya
lagi dengan raut muka penuh tanya, bahkan ketiga temannya sempat saling tatap. Karena dia deket sama lo. Benak Devan
yang hanya terdiam Cukup lama Devan terdiam, membuat Alysa kesal, “lo tuh
kaya bocah ya. Masih aja musuhan, ya meski gue nggak tau apa penyebab kalian
musuhan tapi tetep aja kalian keliatan kaya bocah umur 5 tahun. Entah siapa
yang salah. Tapi gue yakin, masalah kalian tuh spele kan?” jelas
Alysa kesal, “kalian
tuh egois tau nggak. Kalian nggak ngertiin keadaan temen kalian yang udah 3
tahun ini bareng sama kalian. Di mana
pemikiran dewasa kalian. Gue nggak abis pikir sama kalian, dan terutama elo
van.” Lanjutnya sinis, lalu pergi dari kantin.
Membuat Devan,Erik,Steve, dan Radit diam serta
perhatian kantin kembali seperti semula. “van,
maksud lo apaan ngomong kalo kita musuhan sama Bagas?” Radit pun angkat bicara. “iya van, kita kan baik-baik aja sama Bagas”
lanjut Steve, Devan terdiam pikirannya kosong menatap langkah Alysa yang
mulai memudar dari pandangannya. “apa lo
cemburu liat Bagas deket sama Alysa, sedangkan lo yang suka sama dia nggak bisa
berbuat apa-apa” ketus Radit, membuat Devan tersadar dari lamunannya
seolah-olah Radit tau apa yang di rasakannya. Kini pandangan Devan terfokus
pada Radit.
“siapa yang cemburu dan gue nggak suka
sama dia. Gue Cuma nggak suka sahabat gue lebih mentingin dia di banding kita
sahabatnya.” Jelasnya. “gak
usah bohong van, kita semua tau lo punya perasaan sama dia pas lo mutusin Chloe
demi Alysa, lo rela ngebuat Chloe malu di hadapan anak-anak yang ada di
kantin.” Ucap Radit yang mulai menatap Devan sinis, dengan perkataan Radit
membuat Devan hanya terdiam kaku mungkin dia harus belajar jujur pada dirinya
bahwa dia punya perasaan pada gadis berkuncir satu yang selalu menganggu
pikirannya.
Seketika
suasana hening, Devan tidak mampu berkata-kata lagi. “gue
nggak tau apa yang lo pikirin sekarang. Tapi tenang aja, kita nggak akan pernah
bilang hal ini ke siapa pun. Dan gue harap elo bisa dewasa mengenai ini, Bagas
sahabat kita.” Jelas Radit menepuk pundak Devan perlahan, Lalu
meninggalkan Devan di kantin. Membiarkan Devan sedikit berfikir. Kini ia
sungguh tidak mengerti semuanya, tidak mengerti dengan perasaannya, membuat dia
kacau. Seperti terjebak dalam permainannya sendiri, awalnya ia hanya ingin
mengenal Alysa. hingga kini ia teringat akan perkataan Milla saat mereka
bertemu di Sevel “kalo
lo tau sifat asli Alysa, gue yakin lo bakal nyaman berada dideket dia” , Devan
sempat mengabaikan perkataan Milla
saat itu. ia tidak akan berfikir kalo itu akan terjadi. Perasaan itu kan
timbul, semakin di tahan semakin perasaan itu tumbuh. Apa dia ngerasain apa yang gue rasain? Apa hanya gue. Benaknya
seketika, membuat ia harus tersadar. Enggak,
gue nggak boleh gini ini gila. Lanjut benaknya.
#23
Aduuh Gas, kemana sih lo. Kata
gadis berkuncir satu yang kini mencoba menelepon Bagas berkali-kali hingga
hasilnya pun nihil. Sehingga pandangan Alysa tertuju ke seseorang yang ia
kenal, memasukkan ponselnya ke dalam saku seragamnya. Menegaskan pandangannya, “Kirey?” suaranya
pelan. “sama
cowok itu lagi? Apa Kirey bener-bener udah putus?” lanjutnya.
Seseorang menepuk pundak Alysa, ia menoleh
perlahan. “Tia?” kata
Alysa kaget melihat kehadiran Tia, “lo ngapain di sini?” tanya
Tia bingung.
Aduh, jangan sampe Tia liat Kirey sama
cowok lain deh, ntar dia ngadu ke Devan terus Devan sakit hati. Benaknya,
“mmm..
ee.. gue.. gue tadi abis telepon Bagas” jawab
Alysa sembari menyengir, “elo lagi nggak boong kan sa?” kata
Tia menatap apa yang tadi Alysa lihat lalu melihat kearah Alysa, membuatnya
mengembangkan senyum tipis, “ee.. enggak kok” Ucapnya. “Gue fikir lo udah tau hal ini sa, tapi,
apa yang lo liat ini emang bener apa adanya. Bukan rekayasa” kata
Tia dengan lembut, Alysa mengerti apa yang dimaksud Tia, dan sepertinya Tia
juga sudah mengetahui hal ini
“mereka
udah putus?” pertanyaan Alysa sudah bisa di tembak oleh Tia,”belum,
mereka masih pacaran. Kirey itu emang awalnya aja polos lama-lama bejatnya juga
ketauan. Ya gitu lah, mentang-mentang berhasil dapetin Devan, dia jadi ngerasa
paling the best.” Ucap
Tia seolah Tia tau persis sifat asli Kirey, membiarkan Alysa hanya terdiam
mengerti, “tenang
aja, Devan udah tau hal ini kok jadi lo nggak usah khawatirin perasaan Devan
bakal hancur.” Ucap Tia sebelum melangkah pergi, seolah Tia
lebih tau tentang apa yang Alysa rasakan, “gue Khawatir” ucap
Alysa bingung seolah ia sendiri tidak mengerti apa yang ia rasakan, “gue
tau sa lo khawatir sama Devan, sadar nggak sadar lo mulai sayang sama Devan.
dan gue pikir Devan juga ngerasain hal yang sama” kali
ini Tia mengucapkannya sembari tersenyum tulus, lalu melangkah meninggalkan
Alysa yang terdiam memikirkan pernyataan yang di ungkapkan Tia. “oh iya
satu lagi, cowok yang sama Kirey sekarang bukan cowok baik-baik, dia lebih
buruk dari Devan.” lanjutnya
yang kini benar-benar meninggalkan Alysa.
Gue sayang Devan? apa iya? Enggak. Nggak
mungkin dan nggak akan pernah terjadi. Gumam Alysa sembari
menguasapkan wajahnya dan melangkah ke Ruang Laboratorium Sains menemui Milla
yang sedang Praktek Ilmiah untuk lomba akhir pekan.
dari balik pintu, ia melihat gadis dengan rambut lurus ke coklatan sepinggang di sertai hiasan bando dengan kulit putih berdiri persis di samping tugas Ilmiah beserta kedua rekannya. Tanpa Alysa memanggilnya gadis itu pun sudah melihat Alysa yang memandangnya dari balik pintu. Lalu, ia memanggil Alysa untuk masuk ke dalam Lab. Sains namun Alysa menggeleng mengisyaratkan bahwa ia tidak ingin menganggunya, akhirnya Milla lah yang menghampiri Alysa.
dari balik pintu, ia melihat gadis dengan rambut lurus ke coklatan sepinggang di sertai hiasan bando dengan kulit putih berdiri persis di samping tugas Ilmiah beserta kedua rekannya. Tanpa Alysa memanggilnya gadis itu pun sudah melihat Alysa yang memandangnya dari balik pintu. Lalu, ia memanggil Alysa untuk masuk ke dalam Lab. Sains namun Alysa menggeleng mengisyaratkan bahwa ia tidak ingin menganggunya, akhirnya Milla lah yang menghampiri Alysa.
“kenapa
nggak masuk aja sa?” ucap
Milla, “gue
nggak mau ganggu lo Mil, liatin dari sini juga udah cukup kok” Alysa
menyengir lebar, membuat Milla menunjukan giginya yang putih “elah,
santai aja kali sa. Toh, gue juga udah selesai kok ngerjain ilmiah nya, tinggal
di beresin aja tuh” ucap
Milla sembari menunjukan bahwa ia memang sudah selesai.
“mm..
oke, oh iya Mil, gue mau ngomong bentar sama lo dong” pinta
Alysa, “di
luar?” jawab Milla memastikan, “iya,
sambil jalan-jalan aja. Yukk” ajak
Alysa yang kini menarik tangan Milla, “guys gue duluan ya” katanya
kepada rekan belajarnya. Alysa dan Milla kita berjalan mengelilingi gedung
sekolah, Dengan Milla yang masih mengenakan jas putih ala dokter. “mau
ngomong apa sa? Kayanya serius banget. Oh iya sorry ya gue nggak bisa ke kantin
tadi.” Milla memulai pembicaraan. “oh iya
gpp kok Mil, gue mau nanya tentang seseorang sama lo nih, kebetulankan lo itu
mantan Wakil Ketua Osis pasti lo tau kan anak-anak angkatan kita?” jelasnya.
“iya
tau, terus kenapa? Ada yang lo taksir ya?” tebak
Milla membuat Alysa memonyongkan bibir tipisnya “ihh bukan Mil, ee.. lo tau anak-anak kelas
12 Bahasa gak?” .
“12
Bahasa? Tau, tapi nggak semuanya sih, Bahasa berapa dulu nih?” tanya
Milla balik, “nah
itu masalahnya, gue nggak tau. Pokoknya anaknya itu tinggi, kulitnya sawo gitu,
matanya tajem, terus rambutnya kaya berantakan gitu deh, lumayan sih anaknya,
katanya dia lebih buruk dari Devan” jelas
Alysa, “lebih
buruk dari Devan?” Milla
bingung, pasalnya menurut Milla, Devan adalah cowok yang baik sekali pun ia
sering gunta ganti pacar yang sekalinya pacaran hanya bertahan beberapa minggu.
“iya,
lebih buruk dari Devan, bisa di bilang kaya mainin cewek doang gitu” ucapnya
sekali lagi,
Milla
mengingat-ingat siapa cowok yang ia kenal persis dengan karakter yang tadi
Alysa sebut, hingga akhirnya ia menginggat satu orang dengan karakter yang sama
dengan yang Alysa sebut, “oh sih Albert anak Bahasa 1 keturunan
Jerman itu ya? Dia emang cowok urakan,gue akui tampangnya oke, tatapannya bisa
bikin cewek klepek-klepek. emang kenapa sama dia? Jangan bilang lo
klepek-klepek sama dia?” setelah
mengingat Albert, Milla bertanya kembali. “oh Albert ya namanya. Ya enggklah Mil” Alysa mengangguk kecil.
Setelah
Alysa mengetahui siapa laki-laki yang bersama Kirey, ia bermaksud menemui
laki-laki itu, ia ingin memberi peringatan pada laki-laki itu tidak mengetahui
bahwa Kirey masih pacarnya Devan. Alysa mencari Albert ke setiap tempat biasa
di mana anak laki-laki nongkrong, namun Alysa tidak berhasil menemukannya. ia
mencoba mencarinya di taman belakang sekolah dekat dengan Gudang Sekolah yang
jarang siswa Star High kunjungi. Akhirnya Alysa menemukan Albert di sana, ia
duduk di bangku yang melingkari pohon besar di tengahnya sambil memegang gitar
dengan seragam yang terlihat urakan, brandal ulung dengan wajah rupawan. “Albertt..” panggil
Alysa, Albert pun menoleh ke arahnya tanpa membalas ucapan Alysa.
“gue
mau ngomong sesuatu sama lo. Ini penting” lanjutnya.
Albert pun berdiri, kini ia dan Alysa saling berhadapan. “lo
Alysa Avriel, anak 12 IIS 1, payah main Basket tapi jago Volly, hobi Novel,
tomboy tapi cantik.” Ucap
Albert mendeskripsi Alysa dengan senyum mengoda serta tatapan tajam senjata
ampuhnya untuk menaklukan wanita, namun Alysa benar-benar tidak tertarik dengan
cowok brandal macam Albert. “kenapa nyariin gue, cantik?”
Alysa
menarik nafas panjang dan menghelaikannya perlahan, “nggak
usah ngerayu gue. Gue di sini Cuma pengen peringatin elo tentang Kirey cewek
yang lo deketin. Dia itu masih pacarnya Devan. jadi, jauhin dia sebelum lo
dapet masalah” perintah Alysa membuat laki-laki berkulit sawo
itu melebarkan senyum licik khas Albert, “wow! atas dasar apaan nih lo nyuruh gue?” , “gue
nggak mau aja nanti ada keributan terus kalian ntar saling bully gitu” ucap
Alysa santai, hingga Albert melihat Alysa dengan tersenyum tipis. Mendekat ke
arah Alysa.semakin dekat. “ternyata lo care banget ya. But you must
know. Gue nggak peduli tentang status dia apa, dan gue pikir lo tau gue.” , “iya
gue tau. Lo Cuma mainin cewek doang. Nggak pernah serius sama sebuah hubungan.
Lo nyakitin perasaan seseorang buat kesenangan sesaat. Lo nggak punya hati” kata-kata
yang sangat mendeskripsikan Albert membuatnya sempat tercengang saat gadis
berkuncir satu yang kini ada di hadapannya berkata seperti itu.
Seharusnya
Albert bisa bersikap tidak peduli jika ada yang menilai dirinya seperti itu,
namun, entah mengapa saat Alysa yang bilang seperti itu, rasanya ia seperti
tertusuk sebuah jarum. Tidak sakit namun berdarah.“lo tau apa yang gue suka dari Alysa
Gavriel?” ucap Albert seketika mengalihkan pembicaraan,
membuat Alysa bingung dan terdiam, apa yang di maksud Albert. Mengapa ia
membicarakan hal yang tidak penting. “maksudnya?” tanyanya,
kini Albert berniat untuk melakukan hal yang sama, yang ia lakukan bersama
Kirey saat di Perpustakaan. “I like your strawberry lips.” Ucap
Albert yang kini mendekatkan bibirnya kepada Alysa, entah mengapa,
Alysa
merasa lumpuh dan kaku. Tidak bisa menghindar padahal ia ingin sekali
menghindari laki-laki ini. Belum sempat Albert mencium Alysa, tiba-tiba
gempalan tangan menghantam pipinya. Sontak membuat Alysa maupun Albert kaget.
Seseorang menghantam pipi Albert yang mengakibatkan bibir pinggirnya berdarah.
“Devan?” ucap
Alysa tidak menyangka Devan ada di sini, menyelamatkan dirinya. “
sekali lagi lo berani macem-macem sama Alysa, lo liat akibatnya” ancaman
Devan tidak membuat Albert takut justru ia makin tertantang hingga membalas
pukulan yang sama. “jangan lo pikir gue takut sama anceman lo,
gue nggak takut van” ,
mereka kini beradu argument membuat Alysa harus memisahkan mereka. “udah
cukup.. gue bilang cukup.” Mereka
pun kini saling menahan emosi, “kalian mau bikin masalah. Kalo ada yang
liat gimana? terus ngadu ke kepala sekolah. Kalian mau di keluari dari sekolah.” Ucap
Alysa mengancam mereka berdua, Albert memegang luka pada bibirnya “gak
usah sok suci van. Karena lo sama aja kaya gue.” Ucap
Albert kemudian pergi meninggalkan Devan dan Alysa.“lo nggak kenapa-napa van?” ucap
Alysa mengkhawatirkan luka yang ada pada bibir Devan.
“iya,
gue nggak kenapa-napa kok. Btw, lo ngapain di sini sama Albert?” tanya Devan, “gue mau ngomong penting sama dia” jawabnya.“tapi,
lo tau kan dia itu orangnya gimana? Lo harusnya minta temenin sama siapa kek.
Untung gue datang, jadi lo belom diapa-apain sama dia.”
Alysa menganggung mengerti “mm.. lo sendiri kenapa tiba-tiba ada disini?” tanya Alysa balik.
“gue tadi mau naro bangku yang rusak ke gudang, terus gue denger ada orang di sini. Lo tau kan, jarang ada siswa yang ke sini. Kecuali, Albert.”
Alysa menganggung mengerti “mm.. lo sendiri kenapa tiba-tiba ada disini?” tanya Alysa balik.
“gue tadi mau naro bangku yang rusak ke gudang, terus gue denger ada orang di sini. Lo tau kan, jarang ada siswa yang ke sini. Kecuali, Albert.”
#24
Kini
Devan duduk di bangku yang melingkar dengan pohon di tengahnya di ikuti Alysa
yang duduk di sampingnya.”jadi, Albert sering kesini? Sendirian?
Eh.. gitar nya Albert?” katanya
dengan sedikit terkejut saat melihat Albert melupakan gitar yang tadi di
pegangnya, “nanti
biar gue yang kasih ini ke Albert. Ngomong-ngomong, lo ada masalah apa sama
Albert, tumben nyariin dia” Devan
memegang gitar Albert. Alysa hanya terdiam, apa
Devan bener-bener tau ya kalo Kirey ada something sama Albert. Benaknya, “yeh di
tanya malah diem. Mm.. apa ini ada urusannya sama Kirey?” Devan
menebak pikiran Alysa, “I..iyaa van. Lo tau Kirey sama Albert ada
hubungan?” tanyanya ragu. “iya gue tau kok.” Devan
menjawab dengan santai, Alysa mengerutkan dahinya.
Bingung
dengan Devan yang hanya merespon dengan santai “lo tau. Tapi lo biasa aja? Lo nggak
berbuat apa-apa? Maksud gue, lo nggak nasehatin Kirey atau lo nggak mutusin dia,
maksud gue bukan gue nyuruh lo putus, cuman lo sama sekali nggak ada tindakan?
Lo rela perasaan lo dimainin?” katanya
dengan agak kesal melihat respon Devan yang biasa saja. Devan berdiri, berniat
untuk pergi “dari
awal gue nggak pernah serius sama yang namanya ngejalin hubungan. Gue bakal
bikin dia jenuh. Lalu, dia yang bakal mutusin gue. Selesai.” Alysa
terdiam dan ikut berdiri dari duduknya. “dan akan begitu selamanya” lanjutnya,
kini ia melangkah untuk pergi meninggalkan gadis berkuncir satu sembari meletakan
gitar di pundaknya. “lo ngebuat seseorang nyaman dan kemudian
lo ngebuatnya hancur dengan begitu mudah? Sedangkan, lo tau. Melupakan itu gak
semudah jatuh cinta” kata
Alysa sangat lirih membuat Devan menghentikan langkahnya.menghadap ke arah
Alysa “kata
Tia, Albert itu lebih buruk dari lo. Tapi, menurut gue, lo sama buruknya kaya
Albert. Sama-sama Cuma mainin perasaan seseorang” lanjutnya.
“jangan
samain gue kayak Albert! Lo tau apa tentang perasaan. Lo cuma cewek sok tau
yang sampe sekarang ngejomblo. Mana tau tentang perasaan seseorang. Hah” ketus
Devan terdengar kejam di telinga Alysa, lagi-lagi Alysa pun Flashback dengan
apa yang ia rasakan dua tahun yang lalu. Bersama orang yang benar-benar ia
sayangi, sahabat yang berubah jadi cinta. “gue
pernah mencintai seseorang. Gue sayang dia. Dia ngebuat gue nyaman. Dia
ngertiin keadaan gue. Dia selalu bisa buat gue yakin.dia selalu ngasih apa yang
gue pinta. Tapi, satu yang dia nggak bisa kasih ke gue. Yaitu hatinya. Hatinya
udah buat orang lain.tempat yang gue ingin udah di tempatin orang lain. gue
Cuma temen di hatinya dan akan selalu begitu. Di situ gue paham, kalo cinta itu
nggak harus saling memiliki namun juga bukan buat dimainin. Dan saat gue tau
dia nggak ada perasaan sama gue. Gue belajar ngelupain perasaan gue juga bahkan
gue sadar. Ngelupain itu nggak semudah saat gue jatuh cinta sama dia” jelas
Alysa sehingga matanya kini berkaca namun ia juga mencoba tersenyum.
“apa lo pernah ngerasain sakit hati?“ tanya
Gadis berkuncir satu,membuat Devan hanya terdiam. Ia mengingat sesuatu. “Heh. Gue rasa nggak. Makanya lo bersikap
seenaknya sama perasaan orang” lanjutnya, dan kini Alysa pergi meninggalkan
Devan yang masih terdiam dengan memegang erat gitar milik Albert. Iya. Gue pernah sakit hati dan itu karena
elo, sa. Benaknya.
“Ma, Milla mana?” tanya
Mike yang masih dalam keadaan lemas, “dia
kan masih sekolah sayang, nanti juga kesini kok” jawab perempuan berusia
40an, “kamu sayang banget sama Milla ya?”
tanyanya balik sambil tersenyum
manis. “dari dulu perasaan Mike masih
sama ma. Nggak akan berubah, Milla Cuma buat Mike dan Mike Cuma buat Milla.” Ucapan
Mike membuat sang mama tersenyum tipis sembari mengusap kepala anaknya yang
masih berbaring di kasur rumah sakit,
“maafin mama ya, waktu itu pernah maksa kamu buat pacaran sama Alysa. karena mama fikir kamu bahagia kalo sama dia dan mama bakal ngelakuin apa aja buat kamu bahagia sayang”
“maafin mama ya, waktu itu pernah maksa kamu buat pacaran sama Alysa. karena mama fikir kamu bahagia kalo sama dia dan mama bakal ngelakuin apa aja buat kamu bahagia sayang”
Mike
pun mengembangkan senyumannya yang lesu, “iya
ma gpp, Mike emang bahagia sama Alysa, Bahagia bisa jadi temen kecilnya Alysa.
dan Alysa pun juga sama kaya Mike ma. Waktu itu kita pernah janji buat jadi
temen sampe kapan pun. Maka dari itu kenapa Mike nggak suka kalo Mike di suruh
pacaran sama Alysa. terus waktu itu juga, Alysa sendiri yang kenalin Milla ke
Mike, katanya Mike sama Milla harus berdampingan sampe kapan pun. Itu juga
merupakan janji Mike ke Alysa ma. Alysa sayang Milla, kaya Mike yang sayang
sama Alysa, Milla, Mama, dan Papa”
sang mama pun hanya tersenyum lebar melihat sang anak bisa bercerita lagi seperti dulu, “mama bersyukur, anak mama di pertemukan oleh dua gadis cantik dan baik yang selalu sayang sama anak mama” Mike pun ikut mengembangkan senyum lesunya untuk kesekian kalinya.
sang mama pun hanya tersenyum lebar melihat sang anak bisa bercerita lagi seperti dulu, “mama bersyukur, anak mama di pertemukan oleh dua gadis cantik dan baik yang selalu sayang sama anak mama” Mike pun ikut mengembangkan senyum lesunya untuk kesekian kalinya.
“Assalamualaikum” suara
pintu terbuka, “wa’alaikumsalam” ucap
mereka. Gadis berkuncir satu menunjukan senyum lebarnya sembari membawa parsel
buah sebagai buah tangan, “siang tante,
siang Mike” ucap Alysa mencium punggung tangan sang mama Mike,
“siang juga sayang. Loh kok kamu sendiri? Milla mana?” dengan erat Alysa memeluk parsel buah, “Milla nggak bisa ke sini tan, dia lagi belajar buat lomba Sains. Mungkin nanti malam baru bisa ke sini. Oh iya ini buat Mike” menaruh parsel di meja dekat ranjang Mike tidur dan duduk di pinggir ranjang. “oh gitu yaa, yaudah gpp kok. Kamu udah makan belum nak?” tanya wanita usia 40an, langsung Alysa memegang perutnya dan melebarkan cengirannya “belum tante heheheh” . di lihat dari seragam yang ia kena kan, nampaknya Alysa belum pulang ke rumah. Ia langsung ke rumah sakit selepas bel pulang berbunyi. “ahh Alysa mah dari dulu emang nggak berubah. Makan mulu kerjaannya, makanya tuh liat pipinya gede gitu” ledek Mike yang mencubit pipi Alysa, membuat Alysa langsung memegang pipinya “ihh apaan sih Mike, pipi gue mah sexy. Tirus gini” ucap Alysa membuat Mike tertawa kecil.
“hahaha kalian tuh ya, ketemu. Berantem. Yaudah mama beli makanan dulu ya buat kalian” ucap mama Mike yang sudah keluar dari ruangan Mike di rawat.
“siang juga sayang. Loh kok kamu sendiri? Milla mana?” dengan erat Alysa memeluk parsel buah, “Milla nggak bisa ke sini tan, dia lagi belajar buat lomba Sains. Mungkin nanti malam baru bisa ke sini. Oh iya ini buat Mike” menaruh parsel di meja dekat ranjang Mike tidur dan duduk di pinggir ranjang. “oh gitu yaa, yaudah gpp kok. Kamu udah makan belum nak?” tanya wanita usia 40an, langsung Alysa memegang perutnya dan melebarkan cengirannya “belum tante heheheh” . di lihat dari seragam yang ia kena kan, nampaknya Alysa belum pulang ke rumah. Ia langsung ke rumah sakit selepas bel pulang berbunyi. “ahh Alysa mah dari dulu emang nggak berubah. Makan mulu kerjaannya, makanya tuh liat pipinya gede gitu” ledek Mike yang mencubit pipi Alysa, membuat Alysa langsung memegang pipinya “ihh apaan sih Mike, pipi gue mah sexy. Tirus gini” ucap Alysa membuat Mike tertawa kecil.
“hahaha kalian tuh ya, ketemu. Berantem. Yaudah mama beli makanan dulu ya buat kalian” ucap mama Mike yang sudah keluar dari ruangan Mike di rawat.
Alysa
menatap Mike sambil tersenyum lebar hingga membuat lesung pipinya terlihat
jelas. “eh sa, lo ngapain liatin gue
kayak gitu banget” ucap Mike yang masih lemas, “lo tau nggak, gue tuh senengg banget banget liat lo siuman seneng bisa liat lo senyum lagi” ucap
gadis berkuncir satu. “iya iya gue tau lo
kangen banget sama gue, rindu. Dan sayang banget sama gue. Tapi nggak usah
segitunya dong, kan jadi malu” ledek Mike membuat Alysa tercengir. “oh iya gimana lo sama Naufal?” lanjutnya,
“mm.. baik-baik aja kok Mike” jawabnya
sembari memalingkan pandangannya ke arah jendela.
“serius baik-baik aja? Udah nggak galau lagi? Gak bĂȘte lagi?” “iya Mike, bener.” Ucap Alysa merasa geregetan.
“serius baik-baik aja? Udah nggak galau lagi? Gak bĂȘte lagi?” “iya Mike, bener.” Ucap Alysa merasa geregetan.
“jadi sekarang ada yang baru? Ada yang
gantiin Naufal?” ucap Mike menatap Alysa lamat-lamat. “mm.. untuk saat ini sih belom ada yang bisa
gantiin dia, Mike. Dan sama seperti biasa aja. Gue sekolah, main, ngerjain pr,
tidur.” Jelasnya senang, “nggak bosen
jomblo? Mau gue cariin nggak? Lo kan kenalin gue sama Milla. Nah sekarang gue
yang akan kenalin lo ke temen-temen gue” ucap Mike yang mengubah posisi nya
menjadi setengah terduduk. Gadis berkuncir satu itu pun berdiri. Berjalan ke
arah jendela, “nggak usah deh Mike, gue
juga lagi gak tertarik. Toh, kalo emang jodoh. Gue bakal di pertemukan dan di satukan,
jadi biarin aja. Mengalir kaya air” ucapnya memandang ke arah luar jendela.
“yakin? Kalo itu mau lo yaudah, gue nggak
maksa lo. Suatu saat jodoh lo itu orang di deket lo juga ya, jadi biar lo nggak
usah cari-cari lagi.” Mike tersenyum. Begitu juga dengan Alysa yang ikut
tersenyum tanpa melihat Mike. Kini Mike menatap ponselnya yang sudah di penuhi
pesan dari Milla hingga membuat dia membalasnya satu persatu sembari
mengembangkan senyumnya. Alysa yang merasa suasana jadi hening, menoleh ke arah
Mike. Ia juga ikut tersenyum saat melihat Mike tersenyum, ia tau Mike sedang
berpesanan dengan Milla.
Alysa
terduduk pada sofa di dekatnya, mengambil ponsel dari saku seragamnya. Melihat
pesan. Berharap Bagas mengabarinya. Berulang ia melihat semua account social
media. Berharap Bagas menulis sesuatu di sana, namun nihil. Ia meletakkan
ponselnya di sampingnya dan menghelai nafas panjang. “sa akhir pekan lo lomba volley ya?” suara Mike menyadarkan Alysa
dari lamunannya, “iya, Milla ngasih tau
lo ya?” jawabnya. “iyaa.. katanya dia
juga lomba sains kan akhir pekan? Semangat ya buat kalian berdua, semoga
menang. Sorry nggak bisa dukung kalian langsung” kata Mike membuat Alysa
tersenyum tipis, “iya gpp kok Mike” jawabnya.
“lo jadi kuliah di luar negri?” tanya
Mike, “iya jadi Mike, itu impian gue
banget buat kuliah di sana. Lo tau nggak, hadiah lomba volley yang gue ikutin.
Hadiahnya itu dapet beasiswa ke Harvard University, Mike. Gilaa! Gedungnya
keren banget terus nih ya program belajarnya juga keren abis. Ahh. Keren lah
pokoknya kalo gue masuk sana.” Alysa mengungkapkannya dengan sangat
bersemangat. “tapi…” lanjutnya ragu,
membuat Mike mengerutkan dahinya “tapi
apa?”
“makanan gue buat lo aja, biar cepet sembuh. Udah ya.. bye! Salam buat tante” ucap Alysa mencium pipi kanan Mike sebagai tanda pamit yang kini ia sudah keluar dari Ruangan Mike. Terburu-buru dengan masih mengenakan seragam batik khas Star High, sesekali melihat Arloji dan menaiki Lift.
Terimakasih sudah berkunjung^^
Selamat Membaca! Silakan berpendapat Jika ada yang tidak benar :)
